Friday, November 29, 2002

Ujian Saringan Tiga Kali

Seorang teman, mengirimkan cuplikan di bawah ini. Mungkin sudah sering beredar, tapi ijinkan saya memuatnya sekali lagi:

Di jaman Yunani kuno, Dr. Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanannya yang tinggi. Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, "Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?"
"Tunggu sebentar," jawab Dr. Socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali."
"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut. "Betul," lanjut Dr. Socrates.
"Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali.

Saringan yang pertama adalah KEBENARAN.
Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?"
"Tidak," kata pria tersebut,"sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada anda". "Baiklah," kata Socrates. " Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak."

Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu : KEBAIKAN
Apakah yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik ?"
"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".
"Jadi," lanjut Socrates, "anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar.

Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu: KEGUNAAN
Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya ?"
"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Kalau begitu," simpul Dr. Socrates," jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya ?"


Moral of the story:
Sebuah panah yang telah melesat dari busurnya dan membunuh jiwa yang tak bersalah, dan kata-kata yang telah diucapkan yang menyakiti hati seseorang, keduanya tidak pernah bisa ditarik kembali. Jadi, saringlah dulu apa yang akan kita bicarakan.

Ada satu hal lagi yang ingin saya tambahkan. Betapa pada periode krisis negara ini, kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang diobral dimana-mana. Setiap orang merasa sah untuk melontarkan teriakan apapun, kapanpun, di manapun. Dan ini didukung pula oleh pertumbuhan media massa yang demikian pesat. Celakanya, banyak pihak yang akhirnya mengambil kesempatan ini, mendompleng moment ini untuk kepentingan segelintir orang saja, juga untuk tujuan popularitas semata. Tidak peduli, ada tidaknya kebenaran dalam informasi yang disampaikan. Dan ini menuntut kita untuk makin hati-hati. Cuma ingin mengingatkan sekali lagi, bahwa popularitas itu tidak identik dengan kualitas. Popularitas, hanya identik dengan frekuensi tayang!! Pada akhirnya filter terakhir kita adalah the smallest voice within our heart.

Thursday, November 28, 2002

Tekun

Konon Mushashi, si legenda jago samurai dari Jepang, tidak selalu mengabulkan tantangan duel yang dilayangkan kepadanya. Dia akan menimang senjatanya, dan saat itu juga dia tahu, apakah dia akan siap dengan pertarungan yang baru atau tidak.

Seorang teman menceritakan perumpamaan ini, untuk menjawab keheranan saya, melihatnya berlatih menggambar setiap hari padahal ia ssaaannggaaaat jago bikin sketsa (the best I've ever met-lah). Berlatih dalam arti yang sebenarnya, membuat tarikan-tarikan sederhana seperti yang kami dulu lakukan saat kuliah Rupa Dasar dulu. Setiap hari, puluhan lembar kertas ia habiskan untuk berlatih. Buat saya, ini sedikit absurd, karena saya (dan teman-teman) sependapat, bahwa skill menggambarnya itu adalah bakat gawan bayi, sesuatu yang sudah melekat padanya sejak lahir.

Cukup lama saya tidak setuju dengan teman ini , dan menganggapnya buang waktu semata. Sampai suatu hari saya menyadari, ada begitu banyak contoh luar biasa tentang ketekunan berlatih. Ada keponakan perempuan, yang masih berlatih renang sekian jam sehari, padahal kemampuan renangnya jauh di atas kakak kelasnya yang pria. Ada kakak ipar yang menguasai tujuh bahasa asing, dan masih terus berusaha mempraktekkannya setiap hari. Juga mantan atasan saya yang tidak pernah ragu membuang gambar terbaik yang pernah dibuatnya, untuk kemudian membuat gambar yang baru lagi.

Pada akhirnya saya melihat, orang-orang terdekat saya ini tidak pernah merasa bahwa kemampuan terbaik adalah sesuatu yang lekat sejak lahir. Ada kerja keras dan keringat sepanjang waktu. Yang betapa kemampuan superior itu justru mewartakan (dan membutuhkan) kerendahan hati yang luar biasa. Yaitu saat mereka bertekun secara terus menerus, untuk mencapai sesuatu yang (buat orang lain mungkin) terlihat unlimited, unreachable. Hingga pada akhirnya, kemampuan yang dimiliki terlihat 'melekat' pada dirinya. Lebih jauh teman saya menjelaskan, bahwa Mushashi pun membutuhkan latihan keras. Agar katana di tangannya, yang tentu saja belum ada saat ia lahir, bisa menyatu dan menjadi bagian tubuhnya secara keseluruhan. Seperti ipar saya tersebut, yang selalu berusaha keras agar bisa ngelindur dan bermimpi dalam bahasa asing.

To be honest, ketekunan adalah salah satu hal terberat yang belum bisa saya lakukan. Apalagi buat saya, yang sampai saat ini masih punya beragam (bahkan terlalu banyak) cita-cita. Konsep ketekunan jelas dimengerti banyak orang, tapi untuk mengerjakannya, tunggu dulu. Untuk sesuatu yang jauh ke depan, memang butuh stamina dan juga pengaturan emosi jangka panjang.

Wednesday, November 27, 2002

Menikmati Tahapan

Bicara soal buku, sampai saat ini, saya masih kagum sama koleksinya ibu ini. Betapa dia sampai saat ini terus mengumpulkan buku dan juga membuat database koleksinya (masihkan Ella? Ntar malu nih saya... grin). Tentu butuh usaha keras untuk itu. Tidak hanya soal dana, tapi juga cara mendapatkannya. Karena sebagian buku-buku bagus adalah terbitan luar negeri, dan oleh sebab itu harganya cukup mahal. Tidak hanya itu, buat saya pribadi, juga dibutuhkan usaha keras untuk menyediakan waktu membaca.

Dulu, saya sangat keras memproteksi buku-buku saya. Tidak hanya menjaga supaya tidak hilang. Tapi juga supaya buku tersebut tidak rusak. Semua buku saya sampul, dan juga diberi stempel nama. Biasanya, saya akan senewen bila buku-buku yang selesai dipinjamkan, kembali dalam keadaan kucel, ada bagian sampul atau halaman yang terlipat, ada coretan, kotoran, sisa makanan, dan apalagi jika sampai sobek.

Itu terus berlangsung, sampai suatu hari, seseorang mengajarkan saya untuk menikmati 'kekinian'. Menjalankan apa yang pernah saya ungkapkan ke bapak ini sebagai prinsip 'to be here and now'. Bahwa kita hidup pada saat ini. Dimana 'masa lalu' hanyalah sebatas memori, dan 'masa depan' sebenarnya cuma imajinasi. Saat itulah (justru) saya mulai bisa menghargai cacat baru pada buku-buku saya. Mulai timbul kesadaran, untuk melihat cacat-cacat itu sebagai sesuatu yang 'masa lalu'. Yang memberi tanda pada proses-proses yang akhirnya berhasil saya lewati. Hingga akhirnya, saya mulai bisa mengerti untuk menikmati tahapan saya, menikmati kejadian-kejadian yang memang harus dilalui, menikmati jalan yang harus saya lewati. Tanpa harus 'sakit hati' dengan posisi saya yang sekarang ini. Tanpa harus terlalu peduli dengan 'puncak' yang telah dicapai orang lain. Mulai mengerti, bahwa tidak hanya isi buku yang memberi kita informasi, tapi juga 'cacat-cacat' di buku itu sendiri.

Tuesday, November 26, 2002

Tiwul Instan

Di Semanu, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta, akan dibangun pabrik tiwul instan oleh P.T. Indofood Sukses Makmur (ISM) Bogasari. Pabrik baru ini, dipercaya akan meningkatkan harga dasar gaplek, meningkatkan 'martabat' tiwul di masyarakat, serta meningkatkan standar mutu penanaman singkong dan pengolahan gaplek di lingkungan petani. (via Kompas). Just fyi, tiwul adalah sejenis makanan tradisional penduduk di selatan Yogyakarta, terbuat dari singkong, dan dalam musim kemarau yang panjang sering dimanfaatkan sebagai makanan pokok pengganti nasi. Memang luar biasa, betapa budaya 'instan' sudah menjalar ke mana-mana dan mulai menyentuh atribut-atribut tradisional yang paling 'udik' sekalipun. Dari cari jodoh, makanan, sampai pakaian dalam pun tersedia dalam format 'instan'. Mungkin dalam jangka waktu tidak lama, bisa diusahakan gudeg instan, pempek instan, sayur asem instan, bubur menado instan, dan macam-macam makanan tradisional lainnya. Juga, mudah-mudahan, kita akan bisa dengan mudah mengirim batagor instan untuk ibu ini dan suaminya.

Sunday, November 24, 2002

Most and Least Livable Countries

The Human Development Index (HDI), mengumumkan daftar negara-negara yang paling nyaman untuk hidup. Daftar ini disusun berdasarkan kualitas hidup manusia, dan bukan berdasarkan angka statistik ekonomi suatu negara. Termasuk dalam kriteria ini adalah pendidikan, pendapatan real, serta usia kemungkinan hidup. Sepuluh negara paling enak untuk hidup antara lain: Norwegia, Swedia, Canada, Belgia, Australia, USA, Iceland, Belanda, Jepang dan Finlandia. Sedangkan sepuluh negara terburuk bisa dilihat di sini. Dari 173 negara, Indonesia ada di urutan 110, berada di bawah Philliphine (77), Malaysia (59), dan S'pore (25).

Tapi, saya yakin, buat sebagian orang Indonesia sangat nyaman (dan boleh dibanggakan). Mungkin karena:

  • Yang terutama, semua peraturan di sini negotiable. Tergantung kebutuhan dan juga siapa koneksi kita.
  • Hanya negara ini yang punya tempat sampah yang llluuuaaaasss sekali. Even, you can make your own tempat sampah..... tinggal pilih tempat, dah... buang... Bisa di lapangan, di angkot, di kali. Di sini, loe juga bisa buang ludah di sembarang tempat... iiihhh..
  • Cuma di sini, orang bisa nilep uang orang lain, dan tetap bebas. Di sini, loe bisa melakukan apa saja dan selalu ada excuse untuk itu. Yang penting, pinter-pinter ngomonglah....
  • Di sini, kendaraan umum seperti bis dan angkot bisa distop di mana saja. Di tempat saya, ibu-ibu bahkan bisa 'memaksa' angkot mengantar sampai ke dalam kompleks perumahan..he..he.. Tepat sampai di depan pintu rumah masing-masing.
  • Satu lagi, kalau naik bis, selalu masih ada 'tempat kosong'.... khekhekhekhe...
  • Di sini jam karet is acceptable.
  • Amerika boleh nyaman untuk hidup, boleh jadi negara adikuasa. Tapi, kalau duitnya kucel, gak bakalan diterima di mana-mana...... snob dikit bolehlah...
  • Mau up date mobil-mobil keluaran terbaru? Di sini tempatnya, bukan di S'pore atau Kuala Lumpur.
  • Di sini, apa saja bisa jadi duit. Berdiri di dekat mobil muter saja bisa jadi duit. Bahkan di sini, supaya bisa ngasih duit kita harus keluar duit dulu... Lho? Kantor Pajak misalnya...he..he..


Mo nambahin??


/* ========google analytics===== =============================*/