Friday, October 18, 2002

Belajar

Satu hal yang saya senang saat bekerja sebagai arsitek adalah: say tidak akan pernah bosan. Pekerjaan pada profesi ini, umumnya based on project. Dan setiap project, memiliki keunikan tersendiri. Lokasi project, masalah, dan kebutuhan spasialnya tidak pernah sama. Kita juga dipaksa untuk terus meng-up date referensi di kepala kita, terutama soal material, trend design, serta teknologi terbaru dalam bidang konstruksi. Dalam skala yang lebih luas, teori-teori baru selalu bermunculan, karena ilmu arsitektur ini adalah ilmu untuk mengelola lingkungan binaan. Yang variable-nya banyak yang tak terukur, misalnya manusia, lingkungan sosial, kualitas ruang, dan lain-lain. Tapi juga ilmu ini sangatlah terukur, perhitungan konstruksi dan persyaratan teknis akan dipadukan dengan ukuran-ukuran dan spesifikasi teknis bahan bangunan. Untuk itu, dulu, saya punya journal harian, yang merupakan kumpulan tulisan dan sketsa. Mencatat semua yang saya dapat setiap hari. Mencatat semua masalah yang ada setiap hari. Yang walaupun kelihatan seperti coret-coretan biasa, namun pernah membuat saya terusir dari negeri Paman Sam. Intinya, pada profesi ini saya dituntut untuk selalu belajar hal-hal baru. Bahkan ada istilah yang mengatakan, dalam bidang ilmu arsitektur, kita balajar sedikit-sedikit dalam banyak hal. Sementara pada ilmu lainnya, kita belajar banyak (detil) dalam sedikit hal.

Di perusahaan yang sekarang, bukan berarti saya tidak belajar hal-hal baru. Tapi saya merasa proses pembelajaran itu hanya ada pada sekian bulan masa perkenalan. Setelah itu, saya tinggal mengikuti SOP, Standard Operational Procedure, yang ada. Masalah yang muncul pun, akan segera dapat dipecahkan dengan mengikuti manual yang ada. Tidak heran, tiga tahun terakhir ini kebiasaan untuk membuat journal harian itu hilang. Karena semuanya berlangsung ssebagai rutinitas biasa. Yang ada, saya hanya makin hapal dengan semua standard dan aturan yang ada. That's all. Memang, ketika masih di Product Development Section, saya pernah ikut mengembangkan Prodev on Screen. Suatu system yang (maunya) dibuat sederhana, untuk mendokumentasikan aktivitas dan progress dari project dan daily activity di sana. Tapi, project itu tidak pernah diteruskan lagi.

Weblog, yang baru saya kenal 3 minggu yang lalu (thanks Noy), ternyata mampu mengembalikan semangat saya seperti dulu lagi. Memang content-nya belum bisa berupa daily journal. Tidak juga dapat menampung sketsa-sketsa yang ingin saya buat. Tapi, ini kelihatannya awal yang baik. Karena seringkali kita terjebak dalam paradigma untuk berhenti belajar begitu kita memasuki dunia kerja. Padahal kita tidak dituntut untuk mendalami terlalu serius. Apa yang ingin saya lakukan adalah: just make a note. Buat catatan mengenai apapun, sama seperti waktu kita masih sekolah dulu. Content-nya mungkin dianggap tidak berarti. Tapi, kebiasaan ini akan terus memaksa kita untuk berpikir secara runtut, melihat secara lebih objective, dan (meminjam istilah orang jawa) titen. Titen yang berarti, melihat sampai ke detil yang tidak terlihat oleh orang lain. Kita akan belajar memperhatikan hal-hal ajeg (terjadi secara rutin, terus-menerus). Seorang profesor dari tanah air kita (maaf lupa namanya) pernah bilang, "Ke-ajeg-kan itu patut dicurigai. Mencurigai ke-ajeg-an itu sebenarnya adalah dasar dari semua dasar ilmu pengetahuan". Kalau dipikir benar juga ya, banyak toeri yang muncul, ilmu yang berkembang karena orang-orang pintar yang mempertanyakan ke-ajeg-kan yang terjadi di alam semesta.

Maka itulah, ayo terus belajar. Apapun, di manapun. and don't forget to make a note!!!

Thursday, October 17, 2002

Blesson

Banyak orang bilang, bahwa peristiwa peledakan bom di Bali menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua bangsa Indonesia. Memberi pukulan yang menyakitkan untuk bangsa kita yang sedang berupaya bangkit dari keterpurukkan. Juga, menjadi peristiwa yang pedih bagi masyarakat Australia, yang paling banyak warganegaranya tewas. Peristiwa ini menjadi "lesson" bagi banyak pihak.

Sementara sekelompok orang lainnya berkata, bahwa peristiwa di Bali menjadi anugerah, blessing in disguise, bagi pemerintahan Amerika Serikat yang propaganda 'anti terorism'-nya seolah terbukti. Juga kepada pemerintahan Australia, yang keberpihakannya terhadap rencana serangan Amerika Serikat ke Iraq semula tidak didukung oleh mayoritas masyarakatnya. Dengan kata lain, peristiwa ini adalah "bless" bagi pihak lainnya.

Saya sendiri, harus setuju dengan seorang teman yang mengatakan bahwa setiap peristiwa seharusnya merupakan "blesson" bagi setiap orang. Setiap peristiwa, akan sekaligus menjadi lesson dan bless bagi kita. Setiap 'musibah' adalah sekaligus juga anugerah yang berharga dari Yang di Atas sana. Misalnya, setelah kita belajar naik sepeda, dan kemudian terjatuh, kita justru akan bisa lebih mahir bersepeda.

Cuma sekarang, saya sedang pikir-pikir, apa ya bless-nya ketika tempo hari saya dapat surat teguran dari HRD?
Pamrih

Pagi ini, saya menerima email dari salah satu ormas yang, menurut mereka, sangat aktif membantu dalam peristiwa peledakan bom di Bali. Mereka meng-claim kalau mereka sudah turun membantu sejak 15 menit pertama setelah peristiwa naas itu terjadi. Well, I'm still oke with this part. Tapi tulisan pada bagian selanjutnya, benar-benar membuat saya gemas: mereka mempermasalahkan tidak adanya media yang meliput kegiatan mereka. Lebih jauh lagi, mereka mempertanyakan ketika media-media tersebut justru mewancarai kelompok ormas lainnya. Dan mulailah keluar propaganda-propaganda anti media barat, tuduhan konspirasi, dst...dst...

Sigh.... Bung, kalau kalian memang punya pamrih terhadap apa yang kalian kerjakan, bukan di sana tempatnya. Mungkin akan lebih baik jika kalian jadi pedagang, ketika semua perhitungan untung rugi memang sangat dibutuhkan. Dan, jika ingin lebih populer, di sana kalian harus "bersaing" dengan simpatisan lainnya, yang bekerja dengan sukarela dan penuh kerendahan hati. Lagipula, publikasi di sana sifatnya hanya sementara. Lagipula, orang lebih tertarik dengan peristiwa itu sendiri. Apalagi, jika kalian justru meributkan publikasi yang "didapat" kelompok lain. Apa yang kalian permasalahkan, menurut pendapat saya pribadi, justru menempatkan kalian pada posisi yang (maaf) kurang terhormat. Ketika kalian memanfaatkan musibah yang terjadi pada orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Tidak ada bedanya dengan copet yang menggerayangi korban kecelakaan lalulintas. Saya setuju dengan teman saya, bahwa (justru) pada peristiwa semacam ini, keberanian, ketulusan, dan cinta itu tidak butuh saksi.

Wednesday, October 16, 2002

The Power of Prayer

Tragedi di Legian, Bali, demikian dasyat dan menghentakkan kita sampai ke relung hati terdalam. Dan inilah yang menggerakkan banyak orang untuk bergerak meringankan beban dan memecahkan masalah yang ada. Ada voulenteer (tenaga sukarela), yang membantu kegiatan medis, informasi, maupun akomodasi. Ada penyidik, yang juga dibantu ahli-ahli dari negara tetangga. Yang berada di dekat lokasi bisa memberi tanda simpati, biasanya berupa bunga, lilin, photo korban, ataupun in memoriam notes. Kita yang berada jauh dari lokasi tragedi, bisa memberi bantuan materi. Dan yang utama bisa diberikan oleh semua orang adalah DOA.

Jika kita amati, rangkaian doa dan simpati ini akan ditemui di banyak lokasi tragedi. Selalu dijumpai, orang-orang dari berbagai suku-ras, agama, golongan, dan kebangsaan bersatu untuk DOA ini. Dari sini terlihat, bahwa sebenarnya, doa adalah sesuatu yang universal, yang justru tidak membedakan orang yang satu dengan yang lain. Doa, yang biasanya merupakan hubungan sangat pribadi diri kita dengan Sang Pencipta, tiba-tiba menjadi milik bersama, menunjukkan simpati dan kepedihan yang sama, dan akhirnya membuat semua orang di sana menjadi benar-benar "sama" dan sederajat.

Sayangnya, dominasi otak fisik era modern yang sedemikian kuat sering membuat kita mempertanyakan efektivitas sebuah doa. Ketika segalanya harus terukur dan harus memberi manfaat langsung, doa menjadi sesuatu yang dinilai "kuno" dan sering jadi alternatif terakhir yang terpikirkan di kepala. Manusia kehilangan kepercayaannya terhadap DOA (wong Tuhan saja dipertanyakan, apalagi doa...).

Nah, jika anda termasuk golongan ini, sebaiknya anda membaca dulu hasil research-nya Masaru Emoto di Consciuous Water dan ditulis secara lengkap dalam bukunya The Messages of Waterr. Penelitiannya mengungkapkan perubahan-perubahan fisik pada kristal es dari air yang diberi treatment tertentu. Dia mencatat adanya perubahan-perubahan pada air bila kita membacakan doa, memperdengarkan musik tertentu, serta mengeluarkan kata-kata tertentu. Air yang dibekukan, bila diperdengarkan doa atau musik yang enak didengar, akan mempunyai struktur kristal es yang lebih sempurna dibandingkan jika air tersebut terpolusi atau diperdengarkan musik rock misalnya (but it doesn't proof that rock music is worst than another kind of music....grin). Dia juga mencatat bahwa jika diperdengarkan lagu "Heartbreak Hotel" nya Elvis Presley, kristal esnya akan terbelah menjadi dua!!!

Intinya, ia membuktikan bahwa ada sesuatu yang terjadi saat kita berdoa, mengeluarkan pikiran-pikiran tertentu, berbicara, atau mendengarkan sesuatu. Dan karena 70% tubuh kita terdiri dari air, kita pun tak luput dari pengaruh-pengaruh tersebut. Jadi, dia membuktikan bahwa sesuatu yang 'baik' terjadi bila kita berdoa atau mengeluarkan pikiran yang 'baik' pula. So be carefull with your wish. Be carefull with everything you see, you hear. Be carefull with your thougths and emotion. And let's pray for the victims and everybody involved in Bali's tragedy.

Monday, October 14, 2002

Amour Vincit Omnia

Amour Vincit Omnia. Phrase ini saya dapatkan secara tidak sengaja saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ini petikan dari bahasa Latin, artinya: Cinta Kasih mengalahkan segalanya. Sejak itu, kutipan di atas tertulis di sebagian besar properti saya, termasuk (sekarang) saya pergunakan sebagai salah satu email address penting saya. Sekali lagi, ini adalah rangkaian kata-kata sederhana yang prakteknya ssuuusssaahhhhhh banget. Kadang-kadang saya malah senewen kalau memikirkan konsep-konsep ideal seperti ini.
Menarik sekali, kutipan sederhana ini, puluhan tahun kemudian akan membawa saya ke banyak tradisi spiritual yang umumnya membawa motto Unconditional Love. Simple dan sederhana, secara tidak sengaja mempersiapkan saya untuk bertemu dengan orang-orang tertentu yang mengubah visi saya. Terlalu panjang untuk dijelaskan, tapi ini adalah salah satu 'kebetulan-kebetulan' kecil dari master blueprint-nya divine plan saya. Rangkaian peristiwa kebetulan yang makin kerap terjadi. Sinkronisasi yang makin kuat?? Tak taulah....
Keberanian, Ketulusan, dan Cinta

Seseorang pernah mengajarkan seperti ini kepada saya: Keberanian, Ketulusan, dan Cinta itu tidak butuh saksi. Weeehhh.... beneran nih. Pasti susah banget tuh prakteknya. Jangan-jangan memang nggak applicable. Wong saya kerja pada satu perusahaan, di mana permenungan dan sikap low profile dianggap suatu kelemahan. Di sini, masih punya tradisi jepe yang sangat kuat. Jika perlu, meja dibuat berantakan, seolah kita punya banyak kerjaan. Jika perlu, kita berjalan memutar hanya untuk membuktikan kita sibuk kerja. Kalau kerjaan sudah benar-benar habis, kita bisa menghabiskan duit kantor dengan travel ke pabrik. Wah, persis anggota DPR kita lho: jalan-jalan ke luar negeri kalo pas masa reses. Pokoknya di sini, semua harus ada bukti dan ada saksi. Kalau tidak ada, nah itu kerjaan baru kita, mengadakan bukti dan saksi... :-)
Keberanian, Ketulusan, dan Cinta itu tidak butuh saksi....Keberanian, Ketulusan, dan Cinta itu tidak butuh saksi....Keberanian, Ketulusan, dan Cinta itu tidak butuh saksi....Keberanian, Ketulusan, dan Cinta itu tidak butuh saksi.... woallaa.... pancen angel tenan.
Kritik dan Rantai

Pagi ini, seorang teman mengirimkan artikel tentang kritikan. Isinya tentu saja: bagaimana menyampaikan sekaligus menerima kritikan. Saya jadi ingat, dulu seorang teman pernah mengajarkan saya prinsip rantai. Betul, rantai yang saya maksud adalah besi rantai, yang biasa kita gunakan untuk mengunci pagar, motor, ataupun tempat mengikatkan sauh kapal. Intinya begini: ternyata rantai mempunyai satu karakteristik yang membedakannya dengan benda-benda lain. Yaitu, bagian terkuat dan bagian terlemah dari rantai terletak pada satu titik yang sama. Ya, bagian terkuat dan terlemah dari rantai adalah pada titik pertemuan antar mata rantai. Bagian itulah yang membuat rantai jadi benda yang luwes tapi sekaligus sangat kuat. Tetapi, jika bagian tersebut kita bongkar, maka putuslah rantai itu. Jika bagian tersebut lemah, maka hancurlah rantai itu.
Filosofi yang ingin disampaikan oleh perumpamaan tadi ialah: jika kita tahu titik kelemahan kita, maka kita akan tahu pula titik kekuatan kita. Jika kita makin menyadari kelemahan kita, maka kita bisa menjadi semakin kuat. Kritik adalah cara paling gampang untuk tahu kelemahan kita (sekaligus untuk tahu kelebihan kita). Masalahnya, kita ternyata lebih sering marah ya kalau dikritik. Atau kalau tidak marah, mental kita langsung ambruk.
Icuk Sugiarto, mantan pebulutangkis nasional, yang kebetulan tanggal lahirnya sama dengan saya (melenceng dab...), tahu betul prinsip ini. Dia tahu kelemahannya terhadap smesh, menerima maupun melancarkan smesh. Maka dia berusaha mencegah terjadinya smesh ini dengan teknik rally panjang yang bikin lawan kelelahan, sekaligus tidak perlu mengeluarkan smesh . So, berterimakasihlah pada orang yang mengkritik kita, pakai itu untuk menggali lebih dalam lagi kekuatan-kekuatan tersembunyi kita.

Update [10/31/2002 13:00:00 PM]
Sehubungan dengan weblog, Rebecca Blood dalam Weblog Ethics-nya mengatakan bahwa:
The weblog's greatest strength--its uncensored, unmediated, uncontrolled voice--is also its greatest weakness.... nah!

Bom lagi..bom lagi... :-(
Yang terakhir ini memang terasa menyakitkan. Karena terjadi di Bali dan Menado, dua tempat damai yang masih tersisa di republik ini. Padahal, sore sebelum kejadian sudah ada warning. Lewat diskusi sore itu dengan Nanang, you're right mas, kita memang harus mendoakan bangsa ini. Lewat rosario for this country yang dikirim seorang yang tak saya kenal. Lewat higher self, yang sampai hari ini kadang-kadang sinyalnya sering saya acuhkan, keinginan untuk terus meditasi dan mengirimkan unconditional love.
Mudah-mudahan (?) ini yang terakhir. Sudah cukup rasa malu, terpojokkan, fitnah, kesulitan-kesulitan yang harus ditanggung bangsa ini. Mudah-mudahan saya juga masih menyimpan harapan untuk masa depan
Sigh... Trigger the light... the light... the light... Trigger the love... the love... the love... Unconditional Love on.....
/* ========google analytics===== =============================*/